29 Juni 2014

[FilmReview] The Fault in Our Stars (2014)


Sejak beberapa hari sebelum tanggal 6 Juni 2014, novel The Fault In Our Stars karangan John Green dipampang kembali di Gramedia, baik novel aslinya yang berbahasa Inggris maupun novel terjemahannya yang berbahasa Indonesia. Kembali, adaptasi novel "#1 best seller" menjadi film kembali dilakoni oleh Holywood. Bukan sci-fi yang kali ini diangkat, tapi sebuah cerita cinta remaja yang kali ini diangkat ke layar lebar.

Bagi yang sudah mengkhatamkan novelnya, mungkin perlu disingkirkan dulu imajinasi-imajinasi romantis yang tertanam dalam pikiran. Karena meskipun ini adalah film adaptasi, tapi kenyataanya film ini memiliki sisi romantis tersendiri yang sepertinya akan jauh berbeda dengan novelnya. Setidaknya ada beberapa plot dan karakter yang tidak dimunculkan oleh Josh Boone sebagai sutradara ke dalam film ini.


Real Life Love Story

The Fault in Our Stars bercerita tentang seorang remaja 19 tahun bernama Hazel Grace (Shailene Woodley) yang menderita penyakit kanker tiroid dan kanker paru-paru sejak usianya 13 tahun. Sepanjang hidupnya, ia harus menggunakan tabung oksigen yang selalu dibawanya di dalam tas tarik kecil. Suatu ketika, Hazel diminta orang tuanya untuk mengikuti klub penderita kanker yang bernama The Heart of Jesus yang membosankan. Hingga ia bertemu dengan seorang survivor kanker sebayanya yang bernama Augustus Waters (Ansel Elgort). Sikap Gus yang ceria, terbuka dan positif membuat Hazel tertarik. Lambat laun, kehidupan Hazel dan Gus berkembang menjadi sebuah cerita cinta.


Kisah romantis memiliki penggemar yang sangat luas, mulai kisah cinta klasik Romeo-Juliet atau Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck hingga kisah cinta modern seperti (500) Days of Summer atau Her. Kehidupan cinta karakter akan terus berkembang karena banyaknya materi yang bisa digarap, meskipun plot cerita yang disajikan bisa jadi itu-itu saja. Tapi justru ini menjadi tantangan yang menarik bagi produsen film.

Saya sendiri menikmati TFIOS sebagai cerita cinta yang 'masa kini'. Yakni sebuah kisah percintaan yang tidak basi, dan saya seperti menemani karakter menjalani hari-hari penuh pahit dan manis cinta dalam film ini. Penyakit yang diderita oleh karakter dalam film biasanya menjadikan sebuah film yang mendayu-dayu. Alih-alih begitu, TFIOS menyajikan skenario yang luwes, positif, dan real life banget.


Menggaet Scott Neudstadter dan Michael H. Weber dalam pembuatan screenplaynya, Josh Boone mengemas film ini dengan sangat menyenangkan. Meski durasi film tergolong lama, dan didominasi oleh percakapan-percakapan antara Hazel dan Gus, tapi tetap dapat dinikmati dengan baik. Film ini sangat komunikatif, baik dari komunikasi aktif maupun pasifnya (phone message). Tiap plot cerita dijelaskan dan diiringi dengan baik sehingga penonton yang tidak membaca novelnya pun dapat mengerti konflik yang dikemukakan.

Kualitas akting semua pemain tidak perlu diragukan, terutama Shailene dan Ansel Elgort. Sejak awal film, penampakan mereka memang mendominasi, tapi adegan demi adegan ditampilkan jauh dari kesan membosankan. Ini didukung juga dengan kualitas sinematografi dan shoot-shoot pada angel yang tepat. Ekspresi wajah para aktor tertangkap jelas dalam film ini, membuat penonton ikut merasakan emosi yang dialami oleh mereka.



Meskipun membawakan plot cerita yang mudah ditebak (apalagi bagi pembaca novel yang tentu saja sudah tahu ending cerita dalam film ini), TFIOS tetap memberikan hiburan yang sangat menarik. Mengaduk-aduk emosi penonton dengan senyum-senyum hingga menitikkan air mata. Kisah romantis yang dibawakan dengan tata film yang menawan cukup pantas untuk masuk dalam jajaran film romantis terbaik tahun ini. dan ada satu yang sangat saya suka, saat Hazel memakai gaun biru untuk dinner bersama Gus di D'Oranjee. She's so damn gorgeous!


Rating ; 4.5 / 5

1 komentar: