10 Juni 2014

[FilmReview] Ketika Tuhan Jatuh Cinta (2014)

Halooo
Ketika Tuhan Jatuh Cinta (KTJC) adalah sebuah film besutan Studio Sembilan, Leica Production yang disutradarai oleh Fransiska Fiorella. Film ini merupakan adaptasi dari novel yang berjudul sama. Sebelum film ini diterbitkan, novelnya sendiri sudah meledak di pasaran. Sudah menjadi tren tersendiri bagi rumah produksi film untuk membuat film-film yang berasal dari novel laris. Hal ini akan mempermudah marketing dari film tersebut.

KTJC tampil perdana pada 5 Juni 2014. Saya sendiri menontonya tanggal 9 kemarin. Sebenarnya saya tidak tahu histori pembuatan film ini, saya juga tidak tertarik dengan poster film yang ada di XXI. Ketertarikan saya menonton film ini adalah karena pemerannya yang kebanyakan pemeran favorit saya. Reza Rahadian, Didi Petet, Aulia Sarah dan Ibnu Jamil.

Setelah googling review-review dan beberapa berita yang terkait dengan film ini, akhirnya saya memantapkan diri untuk menonton film ini. Hahaha.
Dari judul dan posternya saya menyangka film ini akan seperti film-film yang diadaptasi dari novel-novelnya kang Abik semacam AAC, KCB, dll. Film-film semacam itu sebenarnya sudah tidak lagi menarik minat saya karena jalan cerita yang mudah ditebak dan pembuatan karakter tokoh yang serba sempurna.

Fikri Versi Film Adalah Pilihan Reza

Menariknya, saat Reza diundang di acara Sarah Sechan akhir Mei lalu, ia menjelaskan bahwa karakter tokoh utama film KTJC (Fikri) yang diperankan oleh Reza sendiri, adalah karakter ciptaan dia sendiri. Berbeda dengan karakter di novel yang sangat religius dan kalau melihat review-review di goodreads, Fikri versi novel adalah tokoh sempurna semacam Fahri di AAC.

Keputusan Reza sendiri saya rasa sangat tepat, dan hasilnya bisa dilihat di film ini. Fikri versi film adalah seorang seniman lukis dengan media pasir di atas kanvas yang bisa tampil sebagaimana umumnya seorang seniman. Jins belel, kaos dibalut kemeja dengan lengan digulung, rambut gondrong. Tapi tetap membawa kesan wisdom dari Fikri versi novel. Saya senang sekali dengan pemilihan karakter ini oleh Reza. Lebih humanis, lebih nyata, lebih empat dimensi.

Akting Aktor-Aktor yang Luar Biasa

Di film ini saya dapat melihat kemampuan akting semua aktor yang mumpuni dan serius menjalani peran. Ibnu Jamil sebagai Irul yang playboy juga terlihat oke di film ini. Saya juga memuji kemampuan akting Aulia Sarah sebagai Leni, terutama saat peran sedih. Ia bisa membawa suasana sendu tanpa menariknya terlalu lebay. Begitu juga dengan Tamara Tyasmara sebagai Humaira, adik Fikri yang bisa membawakan peran adik secara wajar. Mungkin sudah terbiasa juga dengan perannya di Malam Minggu Miko.

Tentu saja peran Reza Rahadian, Didi Petet, Dewi Irawan sudah tidak perlu dipertanyakan lagi di film ini. 

Dilema Menjadi Inti Film, Cerita Menjadi Dilematis

Sudah barang tentu, novel dan film adalah dua hal yang berbeda. Novel cenderung menggunakan satu indera untuk menikmatinya, yang didukung peran besar imajinasi. Sementara dalam film, imajinasi yang dibangun saat membaca novel, diinterpretasikan oleh sutradara sesuai versinya, kemudian disajikan dalam media audio-visual. Dengan kata lain, pasti akan ada miss dari pemetaan karakter dalam benak kita saat membaca novel dan menonton film. Ini yang membuat saya malas membaca novelnya jika akan tahu dibuat filmnya. Hal ini sendiri menjadi dilema bagi sutradara, karena bagaimanapun juga, interpretasi pembaca pastilah berbeda-beda. Sementara dia harus menyatukan interpretasi-interpretasi tersebut menjadi satu bentuk nyata yang sekiranya mewakili.

Inti cerita dari film ini adalah kondisi dilematis dari seorang Fikri. Ia memiliki banyak sekali masalah dalam hidupnya, yang sepertinya di akhir film akan ditunjukkan bahwa Tuhan tidak akan meninggalkan umatNya dalam belenggu masalah. Ia akan membantu dan menemani umatNya sebagai bentuk cintaNya kepada manusia. Oya sebagai informasi, film ini adalah film pertama dari dua film secara keseluruhan. KTJC part 2 sendiri belum pasti tanggal rilisnya. Sinopsis film ini bisa dilihat di sini 

Kenapa saya bilang ceritanya menjadi dilematis? Karena konflik yang ada dalam sebuah film sebenarnya menjadi poin yang paling menarik dri film tersebut. Tapi jika tidak dimanajemen dengan baik, akan membuat film terkesan memiliki tempo yang cepat, tidak nyambung, lompat-lompat dan sebagainya. Penempatan konflik yang baik menurut saya salah satunya bisa dinikmati pada film Berbagi Suami. Selain terpisah menjadi tiga bagian cerita, masing-masing cerita juga memiliki konflik yang tidak sedikit. Namun dalam Berbagi Suami, semua konflik diatur sedemikian rupa hingga menjadi cerita yang berirama dan sangat bisa dinikmati.

Hal ini tidak bisa saya nikmati di film KTJC. Konflik-konflik yang ada di film ini memberikan kesan terburu-buru dan rusuh. Sehingga konflik tidak bisa ditonton sebagai sebuah narasi, melainkan sebagai list-list permasalahan yang ada. Coba saya buat listnya di bawah :


1. Fikri punya masalah dengan ayahnya dalam memilih jalan hidup
2. Humaira punya masalah dengan pekerjaannya karena harus melepas jilbab
4. Fikri akhirnya memilih jalan hidupnya sendiri sehingga ia tidak diijinkan pulang ke rumah oleh ayahnya
5. Lena dijodohkan ayahnya
6. Fikri harus melepaskan Lena
7. Lidya dihamili Irul, tapi Irul tidak mau bertanggung jawab
8. Humaira memilih melepas jilbab demi memenuhi kebutuhan ibunya.
9. Lena tidak mencintai suaminya, ia minta cerai
10. Lena masih mencintai Fikri, tapi Fikri menganggapnya masa lalu.
11. Koh Acong meninggal
12. Lidya sepertinya menyukai Fikri
13. Shira, fans Fikri juga memiliki perasaan terhadap Fikri
14. Shira cemburu dengan Lidya
15. Lidya cemburu dengan Shira
16. dan masih banyak lagi

Fyuh, pusing kan? 
Sebenarnya mungkin konflik yang bejibun semacam ini bisa dinikmati dengan manajemen yang baik. Misalnya dalam satu film, cukup menceritakan beberapa konflik yang menonjol, misalnya dari kehidupan Fikri yang susah, ditentang ayahnya hingga ia bisa lulus kuliah dengan uang sendiri. Sehingga pemahaman emosi oleh penontonya dapat berkembang dan mendalam. Jujur saja, saya tidak dapat merasakan emosi cerita secara mendalam, padahal akting dari aktor-aktornya sangat luar biasa, sayang sekali.

Beberapa adegan juga menurut saya masih berlubang, beberapa juga tidak masuk akal. Misalnya saat Humaira ditanya sudah berapa lama ia melepas jilbab, ternyata baru dua minggu. Sementara dari awal adegan Humaira melepas jilbab hingga ketahuan kakaknya, Fikri sudah mengalami beberapa konflik yang berat. Dengan kata lain, "super sekali" kekuatan pengendalian emosi si Fikri ini dalam mengelola masalah.

Lalu adegan saay Shira datang ke rumah sakit melihat Fikri menyuapi Lidya, yang kemudian ia cemburu. Holenya adalah, kenapa ia mesti cemburu? Shira kan sudah paham kalau Lidya tidak punya siapa-siapa lagi kecuali Fikri, otomatis saat ke rumah sakit, ia akan bersama Fikri berdua saja. Hal semacam menyuapi saat sakit pasti sudah dapat diperkirakan, tidak alasan untuk cemburu, apalagi sampai menulis surat Selamat atas hubungan kamu dengan Lidya. Saya pergi. Ampun deh.

Lubang besar terakhir yang sangat saya rasakan adalah pencampuradukkan behave yang membuat film menjadi tidak terkesan nyata. Penciptaan karakter baru bagi Fikri oleh Reza adalah hal yang sangat baik, sayangnya tidak didukung oleh behave karakter lain yang menyesuaikan. Misalnya masalah "pengkhitbahan" yang dilakukan Fikri. Menurut saya adegan khitbah melalui telepon menjadi cheesy, membuat saya "malu" menontonnya, bukan "malu-malu". Dengan karakter Fikri, saya lebih memilih penggunaan kata "saya lamar kamu" atau "would you marry me?" dibandingkan khitbah. Toh artinya sama saja, khitbah/melamar/propose. Mungkin ini agar memuaskan penonton yang memiliki interpretasi Islami dalam film ini. Tapi toh di jembatan kampus, Fikri dan Lena berpelukan??
Atau saat Lena meminta cerai dengan suaminya karena dasar tidak cinta. Bagaimanapun, mereka adalah suami istri yang sah. Penampakan Lena dan suaminya semestinya bisa sewajarnya saja, ditunjukkan juga sikap saling menghargai dan mencoba memberikan cinta.

Dalam kata lain, penggunaan behavior Islami yang setengah-setengah malah bikin geli buat saya. Andaikan adegan-adegan percintaanya dibuat wajar saja dengan kehidupan yang ada, mungkin akan lebih manis, toh dari awal memang dibuat berbeda dengan novelnya.

Overall...

Review saya terhadap film ini, adalah film yang layak untuk ditonton. Tapi jangan terlalu berharap dengan sisi hiburan dan subliminal messagenya. Datanglah, tonton dan nikmati seadanya.

Rating 2,5/5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar